Rabu, 03 Agustus 2016

SITUS WATU TUMPANG DESA KARETAN


DESA KARETAN – untuk mencari situs Selo Tumpang atau Watu Tumpang tidak terlalu sulit. Dari kantor Kecamatan Purwoharjo hanya butuh waktu sekitar 10 menit perjalanan dengan motor atau mobil. Setiba di simpang empat Karetan belok ke timur atau ke arah Kecamatan Tegaldlimo.
Sekitar 300 meter dari jalan raya simpang  empat Karetan ada jalan tanah di tengah hutan ke arah kanan. Hutan itu masuk kawasan Petak 69, RPH Karetan, BPKH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan, wilayah Dusun Sidodadi, Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo.
Jalan tanah di tengah hutan itu cukup lebar, yakni sekitar tiga meter. Bila sudah masuk sekitar 50 meter dari jalan raya, akan terlihat bangunan mirip pesarean. Bangunan itu dikelilingi pagar setinggi dua meter dan dilengkapi  pintu gerbang.
Dari arah pintu masuk, di sisi kanan ada bangunan lapang yang mirip sebuah musala. Di bangunan  yang berlantai keramik itu ada tikar dan karpet. Di tempat itu biasa digunakan istirahat oleh para pengunjung yang bermalam untuk melakukan ritual Pada sisi kiri pintu masuk itu ada sebuah pondokan yang dilengkapi meja panjang dan kursi kayu dengan  panjang dua meter. Tempat itu disediakan bagi para pengunjung yang bersantai dan duduk-duduk
“Juru kuncinya sedang sakit, jadi tidak ada orang yang menunggu di tempat ini,” ujar Kepala Dusun Sidoagung, Judiriyanto, 54. Bila dari pintu gerbang pertama itu lurus, ada pintu masuk kedua dan itu langsung ke lokasi situs. Untuk sampai lokasi situs harus melewati tiga buah  anak tangga.
Bangunan utama dengan luas 144  meter persegi itu tampak terawat. Di tengah-tengah bangunan itulah ada batu berukuran cukup besar dengan posisi menumpang atau  menindih batu lain. Batu yang berada di bawah berukuran lebih besar atau lebar ketimbang batu di atasnya.

Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, sejarah batu tumpang itu bermula pada tahun 1922 Masehi ada pasangan suami istri (pasutri) Tropawirorejo dan Raden Ayu Ruminah atau Mbah Kusumorejo membuka hutan.
Ketika membuka hutan, pasutri itu memberi batas atau tanda hutan yang telah dibabat menggunakan dua batu kecil yang ditumpuk. Batu yang dijadikan batas dengan cara ditumpangkan itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Sejak itulah warga menyebut Watu Tumpang atau Selo Tumpang itu  dengan sebutan Mbah Widjojokusumo.
“Juru kunci yang pertama kali adalah almarhum Mbah Bugiman,” terang Judiriyanto. Perkembangannya, Watu Tumpang itu oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan sering dijadikan tempat bersemadi, terutama setiap malam Jumat Kliwon dan Jumat Legi.
“Kalau bulan Suro (dalam kalender Jawa) lebih ramai lagi,” jelasnya. Para pengunjung yang datang untuk melakukan ritual banyak berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Aceh, Jakarta, Demak, Kudus, Semarang, Jogjakarta, Cirebon, Surabaya, Bali, dan berbagai kota lain di Indonesia.
“Biasanya itu sebelum ke Alas Purwo mampir dulu ke Watu Tumpang,” katanya. Saat ada pemilihan presiden (pilpres), pemilihan gubernur (pilgub), pemilihan bupati (pilbup), calon anggota legislatif (caleg), dan pemilihan kepala desa  (pilkades), situs Watu Tumpang jadi jujugan orang untuk melakukan ritual.
“Dulu sering ada jenderal  yang datang ke sini, cuma datangnya diam-diam,” jelasnya. 

Situs Watu Tumpang itu oleh sebagian masyarakat masih disakralkan. Jika warga memiliki hajat, seperti khitanan dan menikahkan, mereka menggelar selamatan dengan membawa nasi tumpeng di tempat tersebut.

Situs Watu Tumpang dulu hanya sebuah batu biasa di atas permukaan tanah. Pada tahun 1988 batu tersebut pernah dibongkar paksa menggunakan  peledak (dinamit) dan hancur menjadi beberapa bagian. Tetapi, tidak berselang lama batu itu berkumpul kembali dalam bentuk seperti semula.
Karena banyak warga yang datang dari luar daerah, pada tahun 2002 oleh salah satu tokoh agama setempat, Marjono, Watu Tumpang dipugar dan dibuatkan bangunan dan pagar. “Hingga kini masih terawat baik. Ada saja warga yang berkunjung,” pungkasnya. (Jawa Pos - Radar Genteng)