DESA KARETAN – untuk mencari situs Selo Tumpang
atau Watu Tumpang tidak terlalu sulit. Dari kantor Kecamatan
Purwoharjo hanya butuh waktu sekitar 10 menit perjalanan dengan motor
atau mobil. Setiba di simpang empat Karetan belok ke timur atau ke arah
Kecamatan Tegaldlimo.
Sekitar
300 meter dari jalan raya simpang empat Karetan ada jalan tanah di tengah
hutan ke arah kanan. Hutan itu masuk kawasan Petak 69, RPH Karetan, BPKH
Karetan, KPH Banyuwangi Selatan, wilayah Dusun Sidodadi, Desa
Karetan, Kecamatan Purwoharjo.
Jalan
tanah di tengah hutan itu cukup lebar, yakni sekitar tiga meter. Bila sudah
masuk sekitar 50 meter dari jalan raya, akan terlihat bangunan mirip
pesarean. Bangunan itu dikelilingi pagar setinggi dua meter dan dilengkapi
pintu gerbang.
Dari
arah pintu masuk, di sisi kanan ada bangunan lapang yang mirip sebuah musala.
Di bangunan yang berlantai keramik itu ada tikar dan karpet.
Di tempat itu biasa digunakan istirahat oleh para pengunjung yang bermalam
untuk melakukan ritual Pada sisi kiri pintu masuk itu ada sebuah pondokan yang
dilengkapi meja panjang dan kursi kayu dengan panjang dua meter. Tempat
itu disediakan bagi para pengunjung yang bersantai dan duduk-duduk
“Juru kuncinya
sedang sakit, jadi tidak ada orang yang menunggu di tempat ini,” ujar Kepala
Dusun Sidoagung, Judiriyanto, 54. Bila dari pintu gerbang pertama itu lurus,
ada pintu masuk kedua dan itu langsung ke lokasi situs. Untuk sampai
lokasi situs harus melewati tiga buah anak tangga.
Bangunan
utama dengan luas 144 meter persegi itu tampak terawat. Di tengah-tengah
bangunan itulah ada batu berukuran cukup besar dengan posisi menumpang atau
menindih batu lain. Batu yang berada di bawah berukuran lebih besar
atau lebar ketimbang batu di atasnya.
Berdasar
cerita yang berkembang di masyarakat, sejarah batu tumpang itu bermula
pada tahun 1922 Masehi ada pasangan suami istri (pasutri)
Tropawirorejo dan Raden Ayu Ruminah atau Mbah Kusumorejo membuka hutan.
Ketika
membuka hutan, pasutri itu memberi batas atau tanda hutan yang telah
dibabat menggunakan dua batu kecil yang ditumpuk. Batu yang dijadikan
batas dengan cara ditumpangkan itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Sejak
itulah warga menyebut Watu Tumpang atau Selo Tumpang itu dengan
sebutan Mbah Widjojokusumo.
“Juru
kunci yang pertama kali adalah almarhum Mbah Bugiman,” terang
Judiriyanto. Perkembangannya, Watu Tumpang itu oleh masyarakat sekitar
dikeramatkan dan sering dijadikan tempat bersemadi, terutama setiap malam Jumat
Kliwon dan Jumat Legi.
“Kalau
bulan Suro (dalam kalender Jawa) lebih ramai lagi,” jelasnya. Para
pengunjung yang datang untuk melakukan ritual banyak berasal dari berbagai
daerah di Nusantara, seperti Aceh, Jakarta, Demak, Kudus, Semarang,
Jogjakarta, Cirebon, Surabaya, Bali, dan berbagai kota lain di Indonesia.
“Biasanya
itu sebelum ke Alas Purwo mampir dulu ke Watu Tumpang,” katanya. Saat ada
pemilihan presiden (pilpres), pemilihan gubernur (pilgub), pemilihan bupati
(pilbup), calon anggota legislatif (caleg), dan pemilihan kepala desa
(pilkades), situs Watu Tumpang jadi jujugan orang untuk melakukan
ritual.
“Dulu
sering ada jenderal yang datang ke sini, cuma datangnya
diam-diam,” jelasnya.
Situs Watu Tumpang itu oleh sebagian masyarakat masih disakralkan. Jika warga memiliki hajat, seperti khitanan dan menikahkan, mereka menggelar selamatan dengan membawa nasi tumpeng di tempat tersebut.
Situs Watu Tumpang dulu hanya sebuah batu biasa di atas permukaan tanah. Pada tahun 1988 batu tersebut pernah dibongkar paksa menggunakan peledak (dinamit) dan hancur menjadi beberapa bagian. Tetapi, tidak berselang lama batu itu berkumpul kembali dalam bentuk seperti semula.
Situs Watu Tumpang itu oleh sebagian masyarakat masih disakralkan. Jika warga memiliki hajat, seperti khitanan dan menikahkan, mereka menggelar selamatan dengan membawa nasi tumpeng di tempat tersebut.
Situs Watu Tumpang dulu hanya sebuah batu biasa di atas permukaan tanah. Pada tahun 1988 batu tersebut pernah dibongkar paksa menggunakan peledak (dinamit) dan hancur menjadi beberapa bagian. Tetapi, tidak berselang lama batu itu berkumpul kembali dalam bentuk seperti semula.
Karena
banyak warga yang datang dari luar daerah, pada tahun 2002 oleh salah satu
tokoh agama setempat, Marjono, Watu Tumpang dipugar dan dibuatkan
bangunan dan pagar. “Hingga kini masih terawat baik. Ada saja warga
yang berkunjung,” pungkasnya. (Jawa Pos - Radar Genteng)